Minggu, 01 November 2009

Makin Tua Makin Cemburuan

JADI orang mestinya mengacu filosofi padi, makin tua makin merunduk. Tapi Jawawi, 68, dari Malang (Jatim), justru makin tua makin berangasan. Dengar kabar bekas istri dipacari tetangga, langsung naik pitam. Akibatnya Gendon, 40, yang mati konyol. Sepulang mengantar anak, tewas digebuk kayu sono keling!

Padi termasuk jenis tanaman serba guna. Tanaman yang kata petani Jawa selalu dalam lindungan Dewi Sri, begitu banyak manfaatnya. Bulir-bulir padinya, bila telah menjadi nasi dikonsumsi semua umat yang tinggal di negeri tropis. Dalam ukuran jutaan ton, bisa menyebabkan sejumlah Kepala Bulog (Badan Urusan Logistik) masuk penjara. Lalu kulit biji padinya, ketika dibakar bisa jadi sumber rejeki tukang abu gosok. Begitu juga daun-daun keringnya, di pabrik kertas bisa jadi karton. Dan yang tak kalah penting adalah filosofinya padi: makin tua makin merunduk, orang semakin berumur semakin santun dan arif.

Tapi Jawawi dari Desa Kedok Kecamatan Turen Kabupaten Malang, bukan begitu. Makin tua malah tambah begita-begitu (baca: banyak ulah). Meski sadar bahwa perjalanan ke liar kubur semakin mendekat, emosi dan sifat berangasannya yang munggweng ngarsi (dikedepankan). Baru mendengar isyu-isyu yang tak jelas ujung pangkalnya, sudah naik pitam bagaikan Prabu Baladewa wayang kulit. Kasihanlah kemudian pihak-pihak yang jadi korban fitnah, dia jadi mati konyol akibat ulah Mbah Jawawi yang tak terkontrol!

Di kampungnya, Mbah Jawawi terkenal tukang kawin. Ganti istri macam anak ABG ganti baju Lebaran saja. Mentang-mentang “bergizi” alias banyak duit, menikah tidak menyesaikan dengan kondisi lapangan. Maksudnya, jikalau telah berusia kepala lima, menikah embok iyao dengan janda-janda usia kepala 4. Jangan pula gadis usia 30 tahun ke bawah ditelateni juga. Akibatnya, tak seimbanglah urusan suplay and demand (pasokan dan permintaan). Dalam urusan ranjang misalnya, libido istri masih keras, Mbah Jawawi sudah kehabisan napas!

Gara-gara itulah Darsiti, 29, istri Mbah Jawawi entah yang ke berapa minta cerai. Lantaran pasal yang diusung ke Pengadilan Agama masalah “tidak mampu melaksanakan tugas” suami, palu hakim pun diketukkan dan Mbah Jawawi melepas istri yang masih sangat dicintainya dengan terpaksa. Dia sungguh tak rela Darsiti yang masih maknyusss sebagaimana kata Bondan Winarno, harus jatuh dalam pelukan lelaki lain. “Gak lila ndonya kerat aku (aku tak rela dunia akhirat),” kata Mbah Jawawi setiap curhat pada teman-temannya.

Padahal mustinya, biar bekas istri cantiknya macam artis Paramitha Rasudi, karena sudah bukan miliknya, tak perlu dipikirkan lagi. Mau nungging, mau njungkir walik (jungkir balik) urusan dialah. Tapi Mbah Jawawi bukan begitu. Bekas jandanya tersebut selalu dimonitor. Bila saja tehnik memungkinkan, mau rasanya dia pasang CCTV untuk memantau keseharian Darsiti. Dan inilah yang terjadi, ketika ada laporan bahwa Darsiti pacaran dengan duda Gendon yang masih tetangga sendiri, dia naik pitam. Lupa bahwa masih dalam suasana bulan puasa, dia mengancam ingin bikin perhitungan dengan lelaki yang telah berani ngilani dadane (baca: melecehkan) tersebut.

Gendon sama sekali tak tahu niat buruk Mbah Jawawi, sehingga ketika berpapasan di jalan seusia mengantar anak lelakinya sekolah, dia bersikap biasa saja. Padahal yang terjadi, begitu Gendon mengatakan: “Tindak pundi Mbah (Mau ke mana kek),” sebagai tanda hormat, tahu-tahu sebatang kayu sono keling menghajar dadanya dengan keras. Sempat terjadi cekcok sebentar antara keduanya, sampai kemudian dilerai oleh tetangga yang lain. Tapi setibanya di rumah, Gendon langsung muntah darah dan tewas. Siang itu juga dia dibawa ke makam desa, dan siang itu juga Mbah Jawawi diserahkan ke Polsek Turen.

Bulan puasa Mbah, perbanyak cari pahala, bukannya paha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar